Ketimpangan akses pendidikan di Indonesia diperburuk oleh korupsi dalam berbagai modus. Ketimpangan itu terjadi mulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Akses pendidikan di Indonesia belum merata. Imbasnya, anak dari keluarga miskin lebih berisiko untuk tidak terdidik. Ketimpangan ini diperburuk oleh korupsi di sektor pendidikan dalam berbagai modus, seperti penggelembungan harga pengadaan barang dan jasa, pemotongan anggaran, suap, proyek fiktif, serta pungutan liar.
Ketimpangan akses pendidikan terjadi mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Masalah ini perlu segera diatasi karena rendahnya tingkat pendidikan akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi.
Direktur Eksekutif Kemitraan yang juga komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Laode M Syarif, mengatakan salah satu penyebab pendidikan kurang merata adalah pembiaran berkelanjutan terhadap tata kelola yang tidak baik. “Korupsi sektor pendidikan mengakibatkan akses masyarakat miskin menjadi minim,” ujarnya dalam dialog pendidikan “Menyingkap Perjalanan Pendidikan Anak-anak Miskin di Indonesia” yang digelar Assa Dewantara, Kamis (26/1//2023).
Menurut Laode, alokkasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan tidak terlalu buruk. Bahkan, nilainya terus meningkat dalam kurun waktu 2016-2022. Pada 2016 sebesar Rp 370,8 triliun dan pada 2022 lebih dari Rp 500 triliun. “Itu sangat besar. Bahkan, konstitusi kita mewajibkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN,” katanya.
Akan tetapi, sering kali anggaran itu tidak dikelola dengan bertanggung jawab. Korupsi pendidikan masih terus terjadi dan melibatkan berbagai pihak, seperti kepala daerah, anggota DPR dan DPRD, kepala dinas, rektor, serta pihak sekolah.
Penggelembungan harga
Laode menyebutkan, setidaknya tujuh kepala daerah menjadi tersangka korupsi pendidikan pada 2016-2021. Beberapa kasus di antaranya korupsi dana pendidikan luar sekolah di Nusa Tenggara Timur (2007), korupsi pengadaan paket bantuan siswa kurang mampu di Kabupaten Lampung Timur (2012), suap ijon proyek-proyek di Dinas Pendidikan Kabupate Banyuasin (2016), serta peotongan dana alokasi khusus di Kabupaten Cianjur (2018).
Modus operandi terbanyak berupa penggelembungan harga pengadaan barang dan jasa serta proyek fiktif, masing-masing 14,2 persen. Selain itu, pungli (13,3 persen), pemotongan anggaran (10,8 persen), dan penyalahgunaan wewenang (5,8 persen).
“Di daerah banyak pengadaan dipotong-potong (agar nilai anggaran) di bawah Rp 300 juta supaya bisa penunjukan langsung,” jelas Laode.
Korupsi juga rawan terjadi di perguruan tinggi. Bentuknya, pengadaan barang dan jasa insentif dosen atau peneliti, uang penelitian, serta jual beli nilai kelulusan. “Suap penerimaan mahasiswa baru banyak terjadi. Kami mendapat banyak laporan, khususnnya untuk fakultas kedokteran,” ucap Laode.
Direktur Eksekutif Asa Dewantara Abdul Malik Gismar mengatakan, ketimpangan akses pendidikan terjadi di berbagai jenjang. Asa Dewantara merupakan lembaga nirlaba yang fokus pada peningkatan kualitas pendidikan yang bisa diakses oleh warga, terutama kelompok marjinal.
Malik memaparkan, 14,94 persen atau 12.560 desa di Indonesia tidak memiliki akses ke PAUD. Hanya 11 persen desa yang dapat mengakses PAUD dalam radius kurang dari 6 kilometer. “Rata-rata jarak ke PAUD di perdesaan 18,77 km. Sementara di perkotaan hanya 3,15 km,” katanya.
Ketimpangan juga terjadi dalam mengakses pendidikan dasar dan menengah. Jarak rata-rata mengakses SD di Jawa, misalnya, hanya 1,23 km. Sementara di Maluku dan Papua mencapai 6,37 km. “Sebesar 31,32 persen (sekitar 4,17 juta anak) dari total penduduk berusia 16-18 tahun tidak bersekolah di SMA. Sebanyak 54,19 persen di antaranya tinggal di desa,” jelas Malik.
sumber: koran Kompas, edisi Jumat, 27 Januari 2023