Ratusan penelitian diselenggarakan, lebih banyak lagi artikel ditulis, dan tak terhitung diskusi dibuat orang untuk mengurai benang kusut teori, sistem, dan praktik pendidikan di negeri kita. Tetapi, sepertinya kita masih banyak berputar-putar di sekitar tempat kita mulai. Perbedaan pandangan terasa berlarut-larut, tak jarang yang berkembang malah debat kusir. Sebagai akibatnya, kekaacauan dan kerancuan pun melanda semua aspek wilayah pendidikan, termasuk konten, strategi pengajaran, maupun penilaian (assessment) pendidikan. Oleh karena itu, tampaknya yang kita perlukan tak kurang dari suatu diskusi mendasar tentang tujuan sejati setiap proses pendidikan.
Pasal 31 Ayat 3 Undang-Undang Dasar kita yang telah diamandemenkan maupun UU Sisdiknas 2003, sesungguhnya telah dengan jernih menetapkan bahwa segenap proses pendidikan haruslah ditujukan untuk pengembangan keseluruhan potensi manusia demi mencapai kehidupan sejahtera, baik secara fisik, mental, dan spiritual, dan bukannya yang hanya melahirkan warga negara yang baik (good citizen) apalagi sekadar membangun angkatan kerja yang kompetitif. Meskipun sesungguhnya tujuan-tujuan yang disebut terakhir ini adalah legitimate, membatasi pendidikan pada dua hal itu adalah suatu pereduksian yang bisa berakibat fatal. Pendidikan seharusnya meliputi pengembangan individual dan universal termasuk di dalamnya pengembangan kemampuan reflektif, serta kapasitas spiritualitas dan moral individual—dan bukannya hanya dibatasi dalam kerangka (baca: kerangkeng) konteks kolektif kewarganegaraan. (Saya tidak secara khusus menyoroti myopi lain terkait dengan masalah tujuan lain pendidikan ini, yakni, sebagai alat politis untuk kepentingan status quo kekuasaan. Meskipun—disadari atau tidak—gejala seperti ini sesungguhnya masih saja terus terjadi di mana-mana, termasuk di negeri kita pascahiruk-pikuk “ideologi P-4” pada zaman Soeharto.)
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,” demikian bunyi Pasal 33 Ayat 3 UUD kita. Tentu saja hal ini tidak dimaksudkan untuk mengeksklusi nilai penting pendidikan sebagai sarana untuk melahirkan warga negara-warga negara yang baik, bahkan juga angkatan kerja yang kompetitif. Dalam kata-kata UU Sisdiknas 2003, pendidikan bertujuan untuk ‘berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Absennya Falsafah Pendidikan
Persoalannya terletak pada kurangnya pendidikan dan sosialisasi filosofi pendidikan, sebagaimana dikeluhkan antara lain oleh Prof. Dr. Winarno Surakhmad. Akibatnya, bukan saja hal ini tak sepenuhnya dipahami oleh pembuat kebijakan dan praktisi pendidikan kita pada umumnya, melainkan dapat dan telah menimbulkan kerancuan dalam perumusan tujuan dan praktik pendidikan kita di level-level yang lebih praktis. Dengan demikian, tujuan pendidikan kita pun teredukasi dalam rumusan dan praktik yang, pada hakikatnya, membatasi pendidikan sebagai suatu upaya untuk melahirkan semata-mata warga negara-warga negara yang baik dalam rangka membina suatu nasion yang kuat dan mampu untuk bersaing dengan nasion-nasion lainnya, dan bukan individu-individu yang reflektif dan berkarakter.
Akibatnya, pendidikan terus-menerus dikuasai oleh penekanan pada hanya domain kognitif dan psikomotorik secara mubazir seraaya melupakan domain afektif dan moralitas. Lebih parah lagi, penggarapan domain kognitif dan psikomotorik dilakukan dengan strategi pencekokan informasi lewat Teknik hafalan tanpa pikir (rate memorization), ketimbang menggalakkan rasa keingintahuan secara satu arah “dictatorial” (mendikte dan memonopoli kebenaran), serta kurang menghormati martabatsiswa. Yang tak kurang parah, penilaian (assessment) diselenggarakan untuk semata-mata mengukur hasil pencapaian akademis-parsial sesaat siswa sambil mengabaikan proses dan cara-cara autentik yang mencakup karakter serta berbagai kecerdasan dan bakat lain siswa.
Membangun Kapasitas Moral dan Reflektif
Last but not least, perlu kita tegaskan di sini bahwa, pentingnya menjadikan pembangunan kapasitas reflektif dan moral individual sebagai tujuan pendidikan makin diperkuat oleh hasil-hasil penelitian yang menyatakan bahwa unsur-unsur tersebut sesungguhnya juga adalah kunci utama dalam menjadikan individu-individu manusia sebagai warga negara-warga negara yang baik, bahkan juga anggota angkatan kerja yang kompetitif. Banyak penelitian mutakhir telah menunjukkan betapa bukan hanya pencapaian kebahagiaan fisik, mental, dan spiritual, bahkan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dan kesuksesan karier individual lebih banyak ditentukan oleh kapasitas reflektif (sekaligus kreatif) dan kekuatan karakter (moral) seperti ini. Dan bukan sekadar pencekokan informasi siap-pakai sebanyak-banyaknya ataupun penguasaan skill dan keterampilan vokasional dan teknis-profesional, yang menjadi ciri utama suatu tujuan pendidikan reduksionis yang menimpa sistem pendidikan kita.
Ditulis*Oleh: Haidar Bagir
) esai ini ada dalam buku Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia: Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita karya Haidar Bagir (Jakarta: Mizan Publika, 2019).
artikel yang bagus