Saat peringatan Hari Guru pada 25 November lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti sejumlah masalah pendidikan, salah satunya adalah soal infrastruktur dan kesejahteraan tenaga pengajar.
Menurut Jokowi, infratsruktur pendidikan di antara satu daerah dengan daerah yang lain sangat berbeda. Padahal, insfrastruktur yang merata merupakan salah satu syarat terciptanya pendidikan yang berkualitas.
Ia pun meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim harus mencari solusi buat memecahkan ketimpangan infrastruktur pendidikan.
“Saya bandingkan dengan SMK yang ada di kota, memang gap-nya sarana prasarana sangat jauh berbeda, dan itu tugasnya menteri pendidikan,” ujar Jokowi pada peringatan Hari Guru dan HUT ke-78 PGRI di Jakarta, Sabtu (25/11/2023).
Tapi, itu bukan satu-satunya masalah di bidang pendidikan. Masih ada banyak sekali masalah yang dihadapi di bidang ini, termasuk mengenai kesejahteraan guru. Sayangnya, kesejahteraan guru dan perbaikan dunia pendidikan dinilai masih belum menjadi prioritas bagi para calon presiden dan wakil presiden menjelang pemilihan presiden (Pilpres 2024).
Janji Capres Terlalu Populis
Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberikan catatan kritis terhadap visi dan misi para Capres di bidang pendidikan dan guru. P2G menilai ketiga Capres yang ada saat ini, yaitu pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD belum menyentuh lima persoalan dan isu fundamental guru Indonesia.
P2G merinci beberapa masalah fundamental guru di Indonesia, dua di antaranya adalah mengenai kesejahteraan dan kompetensi guru. Selain itu, rekrutmen dan distribusi guru juga dinilai masih amburadul.
“Guru-guru di kita tersentralisasi di daerah perkotaan, sedangkan di pedalaman kekurangan guru, sehingga yang relatif mendapatkan akses pendidikan adalah yang di perkotaan,” tutur Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim.
Dua masalah terakhir terkait guru Indonesia adalah mengenai perlindungan guru yang minim dan buruknya pengembangan karier guru.
Dari sederet masalah pendidikan dan guru di Indonesia, P2G menilai janji ketiga pasangan Capres dan Cawapres masih solusi yang parsial dan bersifat populis semata.
“Janji tiga pasangan ini belum memandang dan menawarkan solusi komprehensif sebagai satu sistem pendidikan nasional,” lanjutnya.
Jelang Pilpres 2024 pada 14 Februari nanti, ketiga Capres yang akan bertanding telah membocorkan sejumlah program demi menarik suara pemilih.
Salah satu isu yang menarik dibahas di setiap edisi pemilu adalah masalah pendidikan beserta kesejahteraan guru di dalamnya. Tapi seperti yang sudah-sudah, janji-janji para Capres untuk menyejahterakan guru bak mimpi di siang bolong atau terlalu populis, menurut sejumlah kalangan.
Bicara soal kesejahteraan guru, berarti bicara soal pendapatan. Dari ketiga Capres yang ada, dua di antaranya sedikit menyinggung mengenai kesejahteraan guru yang dituangkan dalam rencana program kerja mereka.
Pasangan nomor urut 2, Prabowo-Gibran, menyebut akan menambah tunjangan guru sebesar Rp 2 juta perbulan. Jika dikalkulasikan, maka gagasan ini akan menyedot APBN sebesar Rp79,2 triliun pertahun.
Sementara pasangan nomor urut 3, Ganjar dan Mahfud MD, mewacanakan gaji guru sebesar Rp20 juta per bulan sebagai bentuk apresiasi terhadap tenaga pengajar. Meski mengapresiasi rencana tersebut, P2G menilai wacana itu terlalu muluk sehingga sulit terealisasi.
“Dalam kalkulasi riil P2G, wacana ini tidak realistis, karena Rp20 juta dikali 3,3 juta guru berarti Rp66 triliun per bulan. Alhasil negara harus menyiapkan anggaran jumbo sebesar Rp792 triliun untuk gaji guru, belum ditambah gaji ke-13 dan THR pertahun,” Satriwan Salim menjelaskan.
“Tidak mungkin rasanya, anggaran untuk sekadar gaji guru melebihi 20 persen APBN untuk pendidikan,” imbuh Satriwan.
Rasio Guru Tinggi
Sementara itu, anggota tim sukses koalisi Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Indra Charismiadji, tidak menampik peliknya masalah pendidikan dan guru di Indonesia. Tapi, ia menegaskan meningkatkan kesejahteraan guru tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan.
“Bicara soal mencerdaskan, guru selalu berada di garda terdepan, sebagai ujung tombak di negara mana pun. Tapi kondisinya di Indonesia urusan guru sangat complicated, sangat rumit. Sudah beberapa usaha dicoba tapi hasilnya tidak berujung pada mencerdaskan,” kata Indra.
Indra memaparkan kajian Bank Dunia dengan tema double for nothing, saat Indonesia memberikan tunjangan profesi guru (TPG). Tapi rupanya TPG yang diberikan tidak selalu berimbas pada meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk informasi, tunjangan profesi guru diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2009. Dalam hal ini, TPG diberikan sebesar satu gaji pokok tiap bulan untuk guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan.
Tunjangan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan, kompetensi, dan profesionalisme guru sehingga dapat meningkatkan capaian pembelajaran siswa.
“Tapi ternyata itu tidak meningkatkan kualitas atau mutu pendidikan kita,” Indra menegaskan.
Indra menambahkan, hal kompleks lainnya adalah rasio guru di Indonesia yang terlalu tinggi. Artinya, jumlah guru di Indonesia yang terlalu banyak, yaitu 1:15, padahal menurutnya, rasio guru di negara lain bisa 1:20.
Merujuk pada fakta ini, Indra kembali memaparkan data Bank Dunia yang cukup mengejutkan. Disebutkan bahwa guru di Indonesia akan sulit mencapai kesejahteraan karena jumlahnya yang terlalu banyak, yaitu sekitar 3,3 juta guru.
“Berapa pun anggarannya, kalau dibagi dengan sekian banyak guru yang ada tidak akan memadai,” tandasnya.
sumber: voi.id