Pendidikan Yang Memanusiakan

Dalam bukunya yang paling mutakhir berjudul Truth, Beauty, and Goodness Reframed: Educating for the Virtues in the Twenty-Firs Century, ahli pendidikan paling terkemuka dari Harvard, Howard Gardner, seperti menyesali pemikiran-pemikiran pendidikannya sendiri yang terdahulu. Karena, meski sudah menawarkan paradigma kecerdasan majemuk (Multiple Intelligences) yang amat revolusioner bagi dunia pendidikan, sebelumnya ahli psikologi ini tetap cenderung melihat pendidikan dari sudut pandang dua disiplin yang amat dominan pada masa-masa modern ini: biologi dan ekonomi. Dengan kata lain, perspektifnya lebih materialistis dan pragmatis. Oleh karena itu, dalam buku terbarunya ini, Gardner merasa perlu untuk melihat upaya-upaya perumusan pendidikan dari sudut pandang yang lebih humanistis, yang meliputi sudut pandang filsafat, psikologi, sejarah, dan studi budaya (cultural studies).

Tujuan Pendidikan

Kalau mau ringkas, tujuan setiap upaya pendidikan adalah memanusiakan manusia. Dengan kata lain, pendidikan adalah suatu kegiatan untuk mengaktualkan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati. Yakni, mengaktualkan berbagai potensinya untuk dapat benar-benar menjadi manusia yang sejahtera dan berbahagia. Yakni, manusia-manusia yang memiliki kehidupan yang penuh makna, bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Mengutip ungkapan E.F. Schumacher dalam buku klasiknya yang luar biasa, Small is Beautiful, pendidikan kita hendaknya tak hanya menekankan paada know why-nya—yakni, makna (meaning) dari kemampuan dan keterampilan yang kita miliki itu dalam mencapai kebahagiaan hidup. Tulisan ini berusaha menawarkan suatu filosofi pendidikan—suatu pergeseran paradigma (paradigma shift)—yang diharapkan dapat memberikan perspektif yang benar sekaligus mengikat semua unsur dari sebuah kurikulum yang baik.

Pertama sekali, perlu ditegaskan di sini bahwa manusia bukanlah sebuah Artificial Intelligence, betapa pun canggihnya. Selain kekuatan fisik dan kemampuan berpikir, manusia adalah makhluk yang—terutama—memilliki jiwa dan hati. Dan, sebagaimana kemampuan fisik serta kemampuan berpikir harus dikembangkan dan diaktualkan, maka demekian pula halnya dengan kemampuan kejiwaan dan kemampuan ruhaniah manusia. Karena itu, pendidikan pasti bukanlah sekadar pengembangan kompetensi vokasional, apalagi jika istilah ini dipahami secara sempit sebagai sekadar keterampilan-keterampilan praktis, maupun kompetensi akademis dalam bentuk kemampuan berpikir logis-analitis dan kemampuan dalam menentukan kesejahteraan hidup seseorang.

Jika demikian halnya, setiap upaya dan proses pendidikan haruslah mampu melihat dan menggarap seluruh aspek potensi kemanusiaan. Ia harus mampu mengembangkan suatu perspektif holistis—menyeluruh, tetapi juga integratif. Dalam pemahaman seperti ini, kemampuan personal-eksistensial—yang sedikit banyak bersifat spiritual—dan kemampuan sosial adalah dasar sekaligus puncaknya. Yakni, bukan saja ia krusial dalam menentukan kebahagian hidup seseorang, bahkan juga dalam penguasaan kemampuan-kemampuan teknis yang menentukan kesuksesan. Mengenai ini, penting diingat bahwa Abraham Maslow belakangan merasa perlu menjungkirkbalikkan segitiga kebutuhan manusia yang dikembangkannya, sebab pemenuhan kebutuhan spiritual-personal dan sosial tertanya justru menjadi dasar yang baik bagi pemenuhan kebutuhaan fisik. Dan bukan sebaliknya.

Kegagalan pendidikan kita dalam mengembangkan kecerdasan sosial-emosional telah, sebelum yang lain-lain, menyebabkan anak-anak kita tak memiliki kemampuan untuk mengembangkan emosi positif dan empati, yang sangat menentukan kesejahteraan psikologis dan sosial mereka: mudah patah dan menyerah, mudah “galau”, tak punya solidaritas sosial—padahal, pertemanan merupakan sumber, bukan hanya kesuksesan, melainkan juga kebahagiaan. Sementara itu, kegagalan mengembangkan kecerdasan ruhaniah membuat anak kita tidak Bahagia akibat keterasingan sumber-keberdayaannya sekaligus, meminjam William James, Kawan-Agung (the Great Socius)-nya.

Yang tak kurang penting, harus kita sadari bahwa kesuksesan materialistis sekalipun ditentukan juga oleh kecerdasan emosional dan spiritual: oleh kekuatan cita-cita (visi), leardship, karakter, kekuatan imajinasi, dan unsur-unsur sejenisnya. Daniel Goleman, dalam bukunya yang fenomenal, Emotional Intelligence, menyatakan: “… kecerdasan emosional kita menentukan potensi kita untuk belajar keterampilan praktis… Kompetensi emosional kita menunjukkan berapa banyak potensi kita yang telah diaplikasikan menjadi kemampuan yang bisa dipakai saat bekerja.” Sementara, mengenai spiritual intellingence, Danah Zohar dan Ian Campbell menyimpulkan bahwa kecerdasan ruhaniah ini memberikan untuk dapat bekerja secara adaptif-kompleks (berdasarkan prinsip chaos, yang tidak sekadar logis-linear), yang lebih sesuai dengan lingkungan kegiatan yang luar biasa cepat berubah seperti yang terjadi sekarang ini. Dalam bisnis, yang satu disebut sebagai social capital, yang lain spiritual capital.

Unsur-Unsur Kurikulum

Berdasarkan itu semua, apa pun bentuk kurikulum yang hendak dikembangkan, kiranya ia harus memberikan penekanan pada pengembangan daya ruhaniah, yang melibatkan kegiatan-kegiatan spiritualyang berorientasi pembinaan hubungan vertical dengan Sang Kawan-Agung, kegiatan tafakur dan tadabur—yakni, selain kegiatan observasional-saintifik, refleksi intelektual filosofis dan estetis; penanaman dan pengembangan budi pekerti lubur; pengembangan akhlak sosial, khususnya sikap empati, penuh cinta-kasih, pemaaf, dan bebas rasa benci; pengembangan dan pelatihaan etos hidup dan kerja yang baik—termasuk di dalamnya etos kerja keras, kedisiplinan, ketelatenan, keuletaan, kesiapan untuk mendapatkan delayed gratification, sikap tidak pantang menyerah, dan bahkan sebatas tertentu asketisme. Karenanya, setiap kurikulum yang baik juga harus mementingkan pengembangan kepekaan dan kepedulian sosial, baik dalam teori maupun praktik-praktik di lapangan.

Selanjutnya kemampuan imajinatif—yang terkait erat dengan kemampuan kreatif—mesti benar-benar digalakkan, termasuk pemberian ruang sebesar-besarnya bagi upaya belajar berkhayal (berimajinasi), mengeksplorasi seluas mungkin segala sesuatu dan mencoba-coba sebanyak-banyaknya, serta berpikir sebebas-bebasnya, termasuk untuk berbuat kesalahan (trial and error) sebanyak-banyaknya. Di sini menjadi penting pengembangan proses belajar-mengajar berbasis proyek-proyek penelitian (project-based learning). Dalam konteks ini, pendidikan kesenian sangatlah sentral. Bukan saja dalam mendorong pengembangan daya-imajinatif dan kreatif, serta memberikan rasa kepuasan (kebahagiaan) dari kemampuan mengapresiasi karya-karya keindahan, melainkan juga sebagai sarana melembutkan hati dan memperbaiki budi-pekerti. Dalam konteks ini, pendidikan Bahasa juga bersifat sangat krusial khususnya sebagai sarana untuk pengembangan daya dan minat baca yang mendukung upaya perluasan horizon, dan peningkatan kemampuan literer (sastrawi).

Sejalan dengan itu, pelajaran-pelajaran lainnya—termasuk sejarah, dan sebagainya—berperan penting, selain untuk keperluan perluasan pengetahuan dan wawasan, harus tetap diarahkan pada pencapaian-pencapaian kemampuan-kemampuan ruhaniah dan imajinatif pula. Bahkan, pengembangan skills dan entrepreneurship juga tak boleh dibatasi hanya pada pelatihan vokasional dalam makna keterampilaan praktis ataupun kemampuan berorganisasi, manajemen, dan berbagai soft skills lainnya, tetapi dalam makna asli kata vocation sebagai panggilan jiwa (life calling). Karena hanya dengan bekerja yang didorong oleh panggilan jiwa seperti ini orang akan bekerja dengan penuh passion (kegairahan dan cinta), sehingga bekerja bisa menjadi sumber kebahagiaan dan, sekaligus, menghasilkan profesionalisme, performance, serta daya tahan maksimum.

Meskipun demikian, hendaknya “ambisi” mendidik ini tidak menyebabkan proses belajar-mengajar menjadi terasa menekan dan membosankan. Dalam segala keadaan, proses belajar-mengajar harus selalu mengedepankan pemeliharaan suasana gembira serta kerehatan pikiran dan jiwa. Karena, bukan saja kerehatan pikiran dan jiwa mendukung proses penyerapan pelajaran dengan maksimum, melainkan juga membantu pengembangan daya imajinatif dan ruhaniah peserta didik.

Ditulis Oleh: Haidar Bagir
*) esai ini ada dalam buku Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia: Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita karya Haidar Bagir (Jakarta: Mizan Publika, 2019)

Leave a comment

Translate »
Butuh Informasi?