Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 sudah diumumkan. Seperti sudah diduga, tidak ada satu pun skor yang meningkat dibandingkan hasil PISA 2018 terhadap kemampuan Matematika, Membaca, dan Sains anak-anak Indonesia. Evaluasi kebijakan secara menyeluruh diperlukan.
Skor kemampuan Matematika anak Indonesia turun 13 poin dibandingkan dengan skor PISA 2018, dari 376 menjadi 366. Skor Sains juga turun 13 poin, dari 396 menjadi 383.
Sementara untuk kemampuan Membaca, kita bukan sekadar dalam keadaan krisis, tetapi semakin terjerembap. Skor membaca turun 12 poin, dari 371 menjadi 359. Kemampuan membaca anak-anak Indonesia berada dalam titik terendah sejak kepesertaan Indonesia dalam PISA pada tahun 2000.
Satu-satunya hal yang membuat peringkat Indonesia naik dari sisi keanggotaan adalah karena ada delapan negara baru sebagai peserta PISA, yaitu Kamboja, El Salvador, Guatemala, Jamaika, Mongolia, Otoritas Palestina, Paraguay dan Uzbekistan. Di antara negara baru peserta PISA 2022, Kamboja memegang juru kunci, sedangkan beberapa negara lain ada di urutan 10 besar terbawah.
Bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga kita yang lain, performa pendidikan kita jelas belum memuaskan. Singapura tetap menjadi juara dalam semua bidang, seperti Matematika (575), Membaca (543), dan Sains (561).
Kita kalah dari Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Kita hanya unggul sedikit atas Filipina dan Kamboja yang menduduki juru kunci pada PISA 2022.
Kalau kita analisis dari sampling sekolah peserta PISA 2022, dari 413 sekolah yang ditunjuk, ada 225 (54 persen) sekolah berada di Pulau Jawa dengan akreditasi A dan B. Ini artinya, meskipun sekolah sampling sebagian besar ada di Pulau Jawa, toh tidak mampu mendongkrak hasil PISA.
Efek pandemi
Dalam laporan PISA 2022 disebutkan bahwa pandemi Covid-19 memiliki efek terhadap menurunnya skor di hampir semua negara peserta PISA. Untuk Matematika skor turun 15 poin dan untuk Membaca 10 poin, sementara untuk Sains tidak ada penurunan.
Namun, menurunnya skor untuk Matematika ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2015 di sebagian besar negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) sehingga alasan pandemi Covid-19 sebagai biang menurunnya skor PISA tidak bisa diterima seluruhnya sebagai alasan utama penurunan skor PISA.
Sebenarnya, kalau kita mau mengakui dengan jujur, yang menyelamatkan skor Indonesia agar tidak semakin terpuruk jauh adalah adanya Kurikulum Darurat yang diterapkan selama masa pandemi.
Survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terhadap 18.370 siswa kelas I-III SD di 612 sekolah di 20 kabupaten/kota dari delapan provinsi, menunjukkan perbedaan hasil belajar yang signifikan antara Kurikulum 2013 dan Kurikulum Darurat.
Pada jenjang lebih tinggi, Kurikulum Darurat lebih mempermudah guru dalam menyeleksi materi yang relevan sehingga siswa sungguh dapat belajar hal-hal utama selama masa pandemi.
Kurikulum Darurat memperingan pekerjaan guru, tidak membebani guru dengan target kurikulum dan administrasi, tetapi memilih dan menyeleksi materi yang penting.
Pada saat yang bersamaan, ketika Kurikulum Darurat diterapkan, pemerintah memperkenalkan Kurikulum Prototipe, cikal bakal Kurikulum Merdeka, yang diterapkan di sekolah-sekolah penggerak uji coba.
Dari analisis lapangan terkait dengan konsep, proses sosialisasi, dan materi standar dalam rangka pengembangan kurikulum, ternyata uji coba Kurikulum Prototipe ini masih banyak menemui kendala, baik dari sisi konseptual, maupun dari sisi praktik di lapangan.
Hal ini berarti, faktor Kurikulum Prototipe, cikal bakal Kurikulum Merdeka, tidak banyak pengaruhnya dalam penyiapan anak Indonesia dalam menghadapi PISA. Bisa dikatakan, sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai sampling PISA adalah sekolah dengan rezim Kurikulum 2013 dan umumnya adalah sekolah unggul di daerahnya.
Evaluasi total
Berkaca dari hasil PISA 2022, menurut penulis, pemerintah harus jujur mengakui bahwa meskipun sudah ada banyak usaha dan biaya dikeluarkan untuk mengatasi kemandekan belajar, ternyata segala usaha itu belum cukup mampu membantu meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Tanpa berani mengakui bahwa kita telah gagal, kita tidak akan dapat menemukan jalan keluar yang obyektif dan mampu mengatasi krisis pembelajaran. Evaluasi total terhadap berbagai macam kebijakan Merdeka Belajar diperlukan.
Berkaca dari hasil PISA 2022, ada tiga hal yang perlu segera kita lakukan.
Pertama, kemampuan membaca merupakan fondasi dasar berkembangnya kemampuan lain dari siswa, seperti Matematika dan Sains. Oleh karena itu, kemampuan dasar membaca perlu diperkuat sejak dini.
Meskipun pemerintah telah mencanangkan program transisi menyenangkan dari pendidikan anak usia dini (PAUD) ke sekolah, baik Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka tampaknya selalu mengandaikan peserta didik bisa membaca saat memasuki sekolah dasar.
Konsep mengajar sesuai dengan level pemahaman peserta didik (teaching at the right level) tetap diperlukan. Akan tetapi, sebaiknya itu lebih difokuskan pada proses transisi dari PAUD sampai dengan kelas III SD sehingga para guru harus bisa memastikan bahwa anak kelas III SD sudah bisa membaca.
Bila level ini belum terpenuhi dan siswa dipaksa membaca pada saat masuk SD, kegairahan belajar, kreativitas, dan imajinasi akan mati. Agar semua siswa Indonesia pada kelas III SD sudah bisa membaca, para guru perlu diberi pelatihan dan pengembangan khusus tentang literasi pada tahap ini.
Kedua, muatan materi belajar di seluruh jenjang perlu ditata ulang. Meskipun Kurikulum Merdeka berpretensi dan seolah memberikan kebebasan pada guru untuk mengajarkan hal-hal yang esensial saja, faktanya materi belajar masih sangat padat.
Belum lagi alokasi waktu mengajar guru diambil sekitar 20 persen untuk proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila. Akibatnya, para guru merasa dalam posisi harus tergesa-gesa dalam menyampaikan materi.
Ketiga, perlu dicari solusi kreatif untuk mengukur keberhasilan pembelajaran peserta didik secara obyektif.
Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) mungkin bisa mengukur kinerja pembelajaran pada level satuan pendidikan. Namun, bagaimana mengukur hasil belajar individu per individu secara obyektif? Bila selama ini hasil belajar peserta didik semuanya ditentukan oleh sekolah, maka perlu sebuah asesmen lain yang lebih obyektif untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik pada akhir jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Asesmen ini menjadi semacam ujian dari negara sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan individu warga negara, sekaligus menguji kualitas layanan pendidikan di sekolah-sekolah kita.
Hasil PISA 2022 belumlah dapat membuat kita bangga. Namun, hasil PISA dapat menjadi lebih bermakna ketika kita gunakan sebagai kaca untuk becermin diri agar lebih serius lagi mengelola pendidikan.
Penulis: Doni Koesoema sumber: Kompas.id