Gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, pada Merdeka Belajar episode 24. Melalui gerakan nasional ini, pemerintah berupaya meluruskan miskonsepsi pembelajaran baca-tulis-hitung (calistung) di PAUD dan SD kelas awal selama ini. Larangan menjadikan hasil tes calistung sebagai dasar penerimaan peserta didik baru (PPDB) kelas 1 SD pun menjadi salah satu poin dalam gerakan ini. Nadiem menjelaskan, tes calistung pada PPDB kelas 1 SD telah mendiskriminasikan hak pendidikan banyak anak yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan di jenjang prasekolah.
Jika hal tersebut yang melatarbelakangi gerakan ini, lantas mengapa pemerintah tidak mengambil langkah strategis lainnya untuk membuka sebesar-besarnya kesempatan agar ada lebih banyak anak Indonesia yang dapat berpartisipasi dalam PAUD?
Persoalan seputar PAUD
Dalam peluncuran Seri Merdeka Belajar 24 yang bertajuk Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan, Nadiem menegaskan secara eksplisit bahwa ada banyak anak di Indonesia yang tidak memiliki kesempatan untuk masuk PAUD, dan baru mengalami pendidikan formal di jenjang SD. Apa yang dikatakan Nadiem bukanlah omong kosong. Partisipasi anak usia 3-6 tahun di Indonesia pada jenjang prasekolah memang terbilang rendah. Apalagi jika dibanding beberapa negara tetangga di kawasan ASEAN lainnya.
Dalam laporan Bank Dunia tahun 2018 berjudul The Promise of Education in Indonesia, rasio partisipasi kasar (Gross Enrolment Ratio/GER) pada pendidikan prasekolah Indonesia sebesar 62,34% berada di bawah Malaysia (99,22%), Thailand (78,99%), bahkan Vietnam (100,23%). Dengan penghitungan yang tidak jauh berbeda, riset Asa Dewantara melaporkan bahwa hanya 40,17% (atau sekitar 7.622.000) dari total anak berusia 3 sampai 6 tahun di Indonesia yang terdaftar di PAUD tahun pelajaran 2020/2021.
Beberapa faktor berkaitan dengan rendahnya partisipasi masyarakat ke jenjang PAUD, salah satunya—dan yang utama—persoalan akses. Pada 2021—dalam riset yang sama, Asa Dewantara menyebutkan masih ada sekitar 12.560 dari total desa di Indonesia (sekitar 14,94%) yang tidak memiliki akses ke satuan-satuan PAUD jenis apa pun—baik yang bernaung di bawah Kemendikbudristek (seperti PAUD dan TK), maupun di bawah Kementerian Agama (seperti Raudhatul Athfal (RA) dan Bustanul Athfal (BA)).
Akses di beberapa wilayah di Indonesia dapat digambarkan oleh rerata jarak PAUD. Rata-rata jarak PAUD terdekat di daerah perkotaan sekitar 3,15 km. Sedangkan di daerah perdesaan rata-rata jarak PAUD terdekat enam kali lipat lebih jauh (sekitar 18,77 km). Sebagian
Rata-rata—seperti diingatkan Hans Rosling dalam Factfulness—kerapkali menyembunyikan sebaran. Begitupun dengan gambaran rerata jarak PAUD di Indonesia. Sehingga perlu dipahami bahwa proksi rata-rata jarak PAUD tersebut menggambarkan realita sebagian masyarakat dapat mencapai PAUD dalam hitungan jarak kurang dari satu kilometer. Namun, sebagian masyarakat lainnya bahkan harus keluar jauh dari desanya untuk dapat mengakses PAUD. Dengan kata lain, proksi rata-rata jarak PAUD—baik di daerah perdesaan maupun perkotaan, ini menunjukkan bahwa sebaran satuan PAUD di Indonesia belum merata tersedia di setiap wilayah di Indonesia.
Ancaman Stunting Pada Anak
Selain akses, tantangan lainnya pada anak usia dini yang berkaitan dengan partisipasinya ke PAUD adalah stunting (gizi buruk). Meski UNICEF mencatat kasus stunting di Indonesia dilaporkan menurun setiap tahunnya (dari 30,7% pada 2018, menjadi 24,4% pada 2021), presentase stunting kita masih lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Vietnam (23%), Malaysia (17%), dan Singapura (4%). Pada 2021, data Potensi Desa yang dihimpun BPS menunjukkan 3 dari 1.000 anak di bawah usia 5 tahun mengalami kasus gizi buruk jenis kwashiorkor (kekurangan/ketiadaan asupan protein) dan marasmus (kekurangan asupan energi dan protein). Ironisnya, 78,8% penderita gizi buruk jenis kwashiorkor serta marasmus ini adalah anak-anak yang tinggal di desa.
Stunting menunjukkan gagalnya anak-anak mencapai tugas perkembangan sesuai tahapan yang seharusnya pada 1.000 hari pertama pascalahir. Implikasi serius akibat stunting seperti ungkapan lama; layu sebelum berkembang. Sehingga, tak berlebihan bila fenomena stunting di Indonesia yang secara umum menggambarkan kondisi gizi buruk kronis juga menjadi pertanda pada kesiapan kapasitas belajar anak yang sangat rendah. Hal ini dikarenakan kondisi mental dan kemampuan kognitif yang lambat berkembang. Realita stunting pada anak usia dini juga menyebabkan sebagian anak Indonesia terhambat untuk bisa berpartisipasi dalam pendidikan prasekolah.
Bukan Sekadar Persoalan Miskonsepsi
James J. Heckman, ekonom asal Amerika, menjelaskan bahwa investasi terbaik pada modal manusia adalah pengembangan anak usia dini yang berkualitas dari lahir hingga lima tahun pertama kehidupan. Lebih khusus, investasi ini juga bermanfaat jika ditujukan pada kelompok anak-anak dari keluarga miskin. Program-program seperti pengentasan gizi buruk pada anak sejak 0 tahun—bahkan sebelum lahir, program vaksinasi dan imunisasi, serta layanan PAUD yang aksesibel dan bermutu, memungkinkan anak-anak mengalami permulaan yang baik (good start) di hidupnya. Investasi pada tahun-tahun awal perkembangan anak juga rendah biaya tetapi return (pengembalian) yang didapat lebih besar.
Berbagai penelitian menegaskan pendapat Heckman ini. Bahwasanya pengembangan berbagai pondasi fundamental, seperti perkembangan sosial-emosional dan kognitif anak, di masa kritisnya membantu kesiapan anak belajar sebelum memasuki masa sekolah. Penelitian lain menyebutkan, anak-anak yang masuk SD tanpa keterampilan bahasa yang diperlukan, seperti mengenali bunyi dan huruf, atau tidak terbiasa dengan angka, mereka akan cepat tertinggal, kemungkinan besar akan menyebabkan kesenjangan prestasi di sepanjang rentang usianya. Penelitian-penelitian tersebut memberikan bukti bahwa layanan PAUD yang berkualitas menjadi sangat penting untuk diupayakan bagi setiap anak-anak usia dini di Indonesia.
Sayangnya, komitmen pemerintah pada program PAUD masih kurang optimal. Bank Dunia melaporkan anggaran untuk layanan PAUD di Indonesia pada tahun 2018 hanya sekitar 1,33% dari total APBN pendidikan. Masih jauh dari rekomendasi UNESCO yang sekurang-kurangnya 10% dari total anggaran pendidikan nasional. Bantuan Operasional (BOP) PAUD tahun 2019 dari pemerintah pusat (Kemdikbud) berjumlah Rp600.000 per anak per tahun atau sekitar US$42 juga dinilai tidak mencukupi kebutuhan layanan pendidikan bagi setiap anak. Meskipun sejak tahun 2022 pemerintah menyesuaikan jumlah BOP PAUD sesuai Indeks Kemahalan Wilayah dalam rentang Rp600.000-Rp1.200.000, besaran bantuan ini masih kurang dari perkiraan biaya tahunan 2013 yang dibutuhkan per anak sebesar US$151 (Rp2.265.000) untuk Kelompok Bermain dan US$256 (Rp3.840.000) per anak untuk taman kanak-kanak (Nakajima et al. 2019).
Inisiasi gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan untuk meluruskan miskonsepsi pembelajaran calistung di PAUD dan SD kelas awal selama ini menjadi langkah besar yang sangat penting. Kebijakan ini bertujuan mendorong guru mendesain pembelajaran menyenangkan bagi anak-anak usia dini yang masih dalam masa bermain.
Namun demikian, pemerintah perlu mengambil langkah strategis selanjutnya agar persoalan “masih banyaknya anak yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan prasekolah di Indonesia” tidak terkesan menjadi pemakluman semata. Apalagi dalam Rencana Strategis PAUD Dikdasmen tahun 2021-2024, pemerintah menargetkan partisipasi masyarakat ke PAUD meningkat dari tahun-tahun sebelumnya menjadi 58,30% pada 2024 mendatang. Untuk merealisasikan target tersebut, mula-mula pemerintah perlu memastikan ketersediaan satuan PAUD serta layanannya yang bermutu ada di setiap daerah di Indonesia.
Ditulis oleh: Nyimas Gandasari (peneliti di Asa Dewantara)