Salah satu bentuk pendanaan pendidikan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak miskin dan marjinal adalah melalui pemberian beasiswa. Sejak tahun 2015, melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 12 tahun 2015, pemerintah memperkuat dan melengkapi program beasiswa yang telah diupayakan sebelumnya dengan Program Indonesia Pintar (PIP).
PIP merupakan salah satu program jaring pengaman sosial bidang pendidikan dengan memberikan bantuan berupa uang tunai kepada peserta didik yang orang tuanya tidak dan/atau kurang mampu membiayai pendidikannya. Harapannya, PIP dapat membantu anak-anak miskin atau rentan miskin usia 6—21 tahun untuk menyelesaikan program wajib belajar 12 tahun atau mengembalikan mereka yang telah putus sekolah kembali ke sekolah.
Selain PIP, berbagai program beasiswa—khususnya bagi masyarakat miskin—yang diinisiasi oleh pemerintah juga menyasar peningkatan akses pendidikan tinggi bagi anak-anak miskin. Pada tahun 2019, terbitnya Peraturan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) nomor 12 tahun 2019 mengawali program Beasiswa untuk Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidikmisi). Untuk kemudian program tersebut disempurnakan dengan program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) pada tahun 2020.
Berbagai inisiatif program beasiswa tidak hanya datang dari pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mengupayakan program beasiswa dengan berbagai skema pendanaan (bantuan bagi siswa usia 6-18 tahun, bantuan uang kuliah bagi mahasiswa miskin berprestasi asal daerah tersebut, dls). Selain pemerintah pusat dan daerah, berbagai pihak, utamanya perusahaan swasta (melalui program CSR) dan lembaga filantropi, telah lama mengambil peran dan turut andil dalam memperluas akses pendidikan bagi anak-anak miskin di Indonesia melalui program beasiswa. Hasil kajian Asa Dewantara mengidentifikasi lebih dari 200 program beasiswa yang dikelola pemerintah/pemda, perusahaan dan lembaga Filantropi yang dengan sasaran anak-anak miskin di berbagai jenjang pendidikan.
Ragam beasiswa yang diupayakan pihak swasta pun bervariasi, mulai dari bantuan langsung untuk biaya operasional sekolah pada siswa miskin dari jenjang SD sampai SMA, bantuan biaya kuliah bagi mahasiswa miskin berprestasi, bantuan penulisan tugas akhir (skripsi dan tesis), atau bantuan kursus dan pelatihan bagi anak-anak miskin yang membutuhkan keterampilan kecakapan hidup tertentu.
Masifnya program beasiswa, baik dari pemerintah maupun swasta, bagi anak-anak miskin di Indonesia ternyata belum secara optimal mencegah anak-anak miskin putus sekolah di berbagai jenjang pendidikan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh Angka Partisipasi Murni (APM) di berbagai jenjang yang belum maksimal. Kajian Asa Dewantara (2023) menunjukkan masih terdapat 3 dari 100 anak usia 7-12 tahun tidak bersekolah di jenjang SD dan 55,22% diantaranya di daerah perdesaan. Pada jenjang SMP, sekitar 20 dari 100 anak usia 13-15 tahun tidak bersekolah. Begitupun di jenjang SMA, sekitar 31 dari 100 anak usia 16-18 tahun tidak bersekolah di SMA.[1]
Beasiswa, seperti yang diungkapkan oleh Abdul Kahar dalam buku Beasiswa, Pemutus Mata Rantai Kemiskinan, seharusnya mampu mengeluarkan anak-anak miskin dari poverty trap (jebakan kemiskinan) dengan memperpanjang waktu mereka mendapatkan layanan pendidikan yang layak di sekolah. Tata kelola pendanaan pendidikan, termasuk pengelolaan program beasiswa bagi anak-anak miskin perlu dievaluasi kembali efektivitasnya. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, meski penerima PIP terbanyak berasal dari kelompok miskin (15,92%) dan rentan miskin (13,21%), namun penerima PIP disinyalir masih salah sasaran karena kelompok keluarga kaya (2,24%), menengah atas (6,24%), dan menengah (10,03%) masih menerimanya.[2]
Laporan BPS ini sejalan dengan temuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2017 melalui policy brief yang dirilis Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Kemendikbud. Kajian yang berdasarkan studi kasus di enam kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2016 lalu menunjukkan bahwa PIP masih belum efektif, baik dalam ketepatan sasaran penerima, jumlah cakupan penerima, jumlah dana PIP yang diterima, waktu, dan kesesuaian pemanfaatan PIP. Berdasarkan studi tersebut, dari factor ketepatan cakupan jumlah penerima PIP di tahun tersebut, dari 50 siswa yang diusulkan hanya 23 siswa (46%) yang secara real menerima. Di daerah lain, jumlah usulan 75 siswa dan yang terealisasi hanya 6 siswa (8%). Belum lagi pada saat pemanfaatan dana PIP yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan operasional sekolah mereka seperti membeli peralatan sekolah, ongkos ke sekolah, membeli seragam, dls, peserta didik masih banyak yang memanfaatkan PIP untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti membeli sembako (32,3%), berobat (12,9%), membayar hutang (3,9%), dan membeli pulsa (5,6%).[3]
Temuan senada juga diungkapkan oleh World Bank pada tahun 2017, yang menyatakan bahwa PIP (yang merupakan salah satu dari 3 program jaring pengaman sosial selain Beras Rakyat (Rastra) dan Penerima Bantuan Iuran Kesehatan (PBI)) tidak efektif dikarenakan hanya 8% penerimanya berasal dari kalangan miskin. Selain itu, dikarenakan PIP tidak menyasar anak-anak usia pra-sekolah (yang secara tidak langsung menyebabkan APK jenjang PAUD masih sangat minim, yaitu hanya sekitar 40,16% saja saat ini), anak-anak miskin di jenjang SD penerima PIP tetap memiliki risiko yang besar karena tidak memiliki awal yang baik (good starts) yang mampu meningkatkan kemampuan belajar, sekolah dan pengembangan keterampilan di sepanjang karier pendidikan seorang anak.[4] Ketepatan penerima beasiswa pada jenjang pendidikan tinggi pun disinyalir masih salah sasaran mengingat keluarga miskin dan rentan miskin yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi hanya sekitar 3,02% dan 4,74%.[5]
Berdasarkan temuan-temuan ini, Asa Dewantara bermaksud mengadakan Dialog Pendidikan terkait kemudahan anak-anak miskin dalam mengakses berbagai program beasiswa, serta efektivitas program beasiswa dalam mengatasi masalah putus sekolah.
Tujuan Dialog Pendidikan akan difokuskan pada pembahasan seputar:
- Mendiskusikan beragam potensi, skema, dan bentuk program beasiswa di Indonesia
- Mendiskusikan beragam tantangan dan hambatan yang dihadapi pengelola beasiswa dalam membantu mengatasi persoalan akses dan mutu pendidikan
- Mendiskusikan beragam tantangan dan hambatan anak-anak miskin dalam mengakses program beasiswa dari pemerintah maupun swasta dan lembaga filantropi
- Memberikan rekomendasi terhadap pengelola program beasiswa, baik pemerintah maupun nonpemerintah, dalam meningkatkan kualitas program beasiswa sehingga berkontribusi terhadap peningkatan akses dan mutu pendidikan.
Narasumber/Pembicara
- Vivi Alatas, Ph.D. – Peneliti Ekonomi dan Pendidikan,Direktur Eksekutif Asa Kreativa
- Nyimas Gandasari, M.I.Kom – Peneliti Asa Dewantara
- Doni Koesoema, M.Ed. – Pemerhati Pendidikan dan Dosen Universitas Multimedia Nusantara
- Rina Fatimah, S.Sos., M.Si – GM Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa
Peserta Dialog
- Pengelola Program Beasiswa
- Praktisi Pendidikan (guru, dosen, kepala sekolah, rektor, tenaga kependidikan, dll)
- Penentu Kebijakan Pendidikan (Kemendikbud, Kemenag, Pemda, dll)
- Pemerhati Pendidikan
- Media Massa
Bentuk Kegiatan
- Dialog online/daring via Zoom Meeting
- Pengiriman siaran pers ke media massa
Waktu
Hari : Senin
Tanggal : 20 Maret 202
Jam : 14.00 – 16.00 WIB
Rekaman Acara Dialog Pendidikan 2.0
——————————————–
[1] Asadewantara.org
[2] Badan Pusat Statistik. 2021. Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro tahun 2021. Jakarta: BPS, hal. 67
[3] Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Kemendikbud. 2017. Efektivitas Program Indonesia Pintar (PIP) Dan Kontribusinya Terhadap Kedisiplinan Dan Prestasi Belajar Siswa. Jakarta: Kemendikbud, hal. 3-5
[4] The World Bank. 2017. Indonesia Social Assistance Public Expenditure Review Update 2017: “Towards a Comprehensive, Integrated, and Effective Social Assistance System in Indonesia”. Jakarta: The World Bank Office Jakarta. P. 80-81
[5] Asadewantara.org