Mendikbudristek Nadiem Makarim tak lagi mewajibkan mahasiswa S1 mengerjakan skripsi sebagai syarat kelulusan. Namun, kata Nadiem, jangan senang dulu.
“Kemendikbudristek sudah tidak mengadakan kewajiban skripsi. Tapi saya mau mengklarifikasi, jangan keburu senang dulu bagi semuanya, karena kebijakannya adalah keputusan itu dilempar ke perguruan tinggi, seperti di semua negara lain,” kata Nadiem saat rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/8).
Nadiem menegaskan, pemerintah memberikan kemerdekaan kepada masing-masing perguruan tinggi hingga program studi untuk merancang status kelulusan mahasiswanya.
“Kalau perguruan tinggi itu merasa memang masih perlu skripsi atau yang lain itu adalah haknya mereka. Jadi jangan lupa reformasinya,” ujar lulusan Sekolah Bisnis Harvard, AS, ini.
Tugas Akhir Mahasiswa S2 dan S3 Tak Lagi Wajib Tesis-Disertasi, Bisa Bentuk Lain
Mendikbudristek RI Nadiem Makarim menegaskan, mahasiswa magister (S2) atau magister terapan dan doktor/doktor terapan atau S3 tetap wajib diberikan tugas akhir. Namun, bentuk tugas akhir itu diserahkan kepada ketua program studi (kaprodi) masing-masing.
“Dan yang untuk S-2 dan S-3 masih harus tugas akhir. Tapi bisa kepala prodinya menentukan bahwa tugas akhirnya dalam bentuk yang lain bukan tesis, (bisa) project,” kata Nadiem dalam Rapat Kerja dengan Komisi X di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/8).
“Jadi jangan keburu senang dulu [tertawa], tolong dikaji dulu. Itu masing-masing perguruan tinggi haknya,” ujar pendiri GoJek ini.
Begitu juga halnya dengan jurnal, Nadiem menyebut pihaknya banyak mendapat masukan mengenai kekhawatiran kualitas doktoral Indonesia apabila publikasi di jurnal internasional tidak lagi diwajibkan untuk mahasiswa S3.
“Tidak sama sekali, di negara-negara termaju dengan riset yang terhebat di dunia itu (kelulusan) keputusan perguruan tinggi, bukan keputusannya pemerintah,” kata lulusan Harvard Business School ini.
Nadiem Ubah Perhitungan SKS dan Perkenalkan Penilaian Mata Kuliah Pass-Fail
Mendikbudristek Nadiem Makarim mengubah standar proses pembelajaran dan penilaian mata kuliah. Sebelumnya, pembagian waktu per 1 Satuan Kredit Semester (SKS), seperti tatap muka 50 menit per minggu, penugasan terstruktur 60 menit per minggu, dan kegiatan mandiri 60 menit per minggu. Namun kini, 1 SKS jadi dipangkas.
Dengan sistem yang baru, kata Nadiem, setiap prodi akan punya standarnya sendiri. Bila mahasiswa lebih banyak melakukan proyek di lapangan, maka standarnya akan disesuaikan.
“Sehingga sekarang kami mendefinisikan 1 SKS sebagai 45 jam per semester. Itu sudah,” kata Nadiem.
“Pembagian waktu ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi, terserah. Itu big deal,” lanjutnya.
Penilaian mata kuliah juga diubah oleh Nadiem. Kini, bukan hanya bisa berdasarkan Indeks Prestasi (IP) berupa huruf dan angka, tetapi juga bisa dalam bentuk lulus atau tidak lulus (pass-fail).
Pass-fail khusus untuk mata kuliah yang berbentuk kegiatan di luar kelas seperti kegiatan Kampus Merdeka atau menggunakan uji kompetensi. Pass-fail ini nantinya tidak dihitung dalam indeks prestasi kumulatif (IPK).
“Penilaian dan mata kuliah sekarang juga bisa berbentuk pass-fail. Lulus atau tidak lulus. Ini memberikan fleksibilitas yang sangat besar untuk kepala prodi mengadakan berbagai aktivitas yang sangat susah dilakukan,” kata Nadiem.
Misalnya, Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) yang bermitra dengan industri untuk satu semester untuk pelatihan tertentu. Menurut Nadiem akan sangat merepotkan bila prodi dan industri harus menentukan grade scale sesuai dengan aturan penilaian sebelumnya.
Dikti Beri Penjelasan
Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Profesor Nizam mengungkapkan beberapa alasan terkait aturan skripsi tak lagi diwajibkan sebagai syarat mahasiswa S1 untuk lulus dari perguruan tinggi. Pihaknya mengatakan dalam aturan lama ada ketimpangan yang dinilai membebani mahasiswa.
“Pada perguruan tinggi yang terlalu strict itu skripsi bisa menjadi beban yang ekstra, yang menyebabkan kelulusan bagi mahasiswa,” ujar Nizam dalam keterangannya, Rabu (30/8).
Padahal, menurutnya, mahasiswa hanya mendapatkan mata kuliah terkait penulisan skripsi berkisar antara 2 SKS sampai paling banyak 6 SKS. Namun untuk pembuatannya mahasiswa ditargetkan harus selesai dalam 1 tahun.
“Padahal skripsi hanya 6 SKS, atau bahkan ada yang 4 SKS atau 2 SKS tapi untuk menyelesaikannya butuh 1 tahun. Ini overdose [overdosis],” kata Nizam.
Ditetapkan 18 Agustus, Aturan Mahasiswa S1 Tak Wajib Skripsi Sudah Bisa Diacu
Kemendikbudristek mengatakan aturan terkait standar kompetensi kelulusan mahasiswa sarjana tak wajib membuat skripsi sudah bisa diacu. Peraturan itu tertuang dalam Permendikbudristek No 53/2023 dan sudah ditetapkan pada 16 Agustus 2023 dan diundangkan pada 18 Agustus 2023.
“Permennya (Permendikbudristek) sudah keluar. Jadi sudah bisa diacu,” kata Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Profesor Nizam saat dihubungi kumparan, Rabu (30/8).
Nizam mengungkapkan bahwa persiapan terkait kebijakan itu sudah berlangsung sejak 2 tahun ke belakang. Namun, intens digodok sejak setahun terakhir.
Kebijakan ini disambut baik oleh Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria. Menurut Arif hal tersebut selaras dengan tradisi yang telah dijalankan oleh IPB selama ini.
“IPB mendukung kebijakan tersebut dengan apa yang selama ini dijalankan di IPB. Kebijakan ini memberikan kepercayaan kepada perguruan tinggi untuk mengatur sendiri kegiatan akademik,” kata Rektor IPB kepada kumparan, Rabu (30/8).
Menurut Arif, IPB telah lama mengedepankan pendidikan yang tidak hanya befokus pada aspek akademik saja. Kebijakan ini juga memberikan peluang bagi mahasiswa untuk terlibat dalam berbagai kegiatan.
“Di IPB kebijakan tersebut sudah dijalankan sejak 2019. Namun, tugas akhir tetap ada baik untuk business plan, laporan project lapangan atau riset,” tambah Arif.
Sementara itu, Rektor UGM Prof Ova Emilia, kebijakan tersebut sudah tepat karena perguruan tinggi diberikan otonomi untuk mengatur tugas akhir mahasiswa.
Ova mengatakan tugas akhir bukan hanya skripsi tetapi ada banyak bentuk lain. Jangan sampai karena diwajibkan, lalu skripsi hanya sekadar formalitas bahkan mungkin muncul jasa pembuat skripsi.
“Sehingga jangan sampai, mungkin teman-teman wartawan sering melihat mendengar skripsi karena itu diwajibkan terus akhirnya ada usaha membuat skripsi (joki). Itu kan nggak ada gunanya akhirnya (skripsinya),” kata Ova saat dihubungi kumparan melalui sambungan telepon, Rabu (30/8).
“(Jangan sampai) muncul sebagai formalitas bukan sebagai betul-betul bentuk karya. Di sini (di kebijakan baru) sebetulnya disebutkan karya akhir tidak harus dalam bentuk skripsi, itu salah satunya. Tapi ada tugas akhir dan tugas akhir bervariasi,” katanya.
Universitas Padjadjaran (Unpad) juga menyatakan setuju jika mahasiswa tetap perlu mengerjakan tugas akhir sebagai bagian dari proses kelulusan.
“Namun yang pasti, mencermati perkataan Pak Menteri (Nadiem Makarim), bukan diartikan bahwa mahasiswa tidak perlu membuat skripsi. Jadi tugas akhir tetap menjadi komponen utama kelulusan, dan sifatnya tentu wajib,” kata Kepala Kantor Komunikasi Unpad, Dandi Supriadi, kepada kumparan, Rabu (30/8).
Lebih lanjut kata Dandi, untuk skema tugas akhirnya tidak mesti berbentuk skripsi tapi juga bisa dalam bentuk karya atau hasil project khusus yang setara dalam usaha dan evaluasi hasil pembelajaran. Sebetulnya, kata dia, skema tugas akhir yang lebih fleksibel ini bukan sesuatu yang baru di Unpad.
“Dan itu bukan hal yang baru untuk Unpad yang telah memberlakukan hal tersebut sejak beberapa waktu yang lalu,” ujarnya.
sumber: Kumparan.com