Kemerdekaan suatu bangsa tidak terlepas dari andil pendidikan yang melahirkan orang terdidik. Begitupun dalam sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, tidak lepas dari gerbang pendidikan sebagai garda terdepan yang melahirkan golongan cendekiawan yang kritis. Sehingga lahir kesadaran untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan melalui berbagai organisasi pergerakan. Sebab hanya dalam suasana bangsa yang merdeka kesejahteraan dapat terwujud. Hal ini tercermin dalam alinea kedua pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyebutkan:
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Alinea tersebut menegaskan terwujudnya kemerdekaan Indonesia adalah buah dari perjuangan pergerakan bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan pendidikan memiliki peran penting di dalamnya. Namun, pendidikan di Indonesia saat ini masih memiliki pekerjaan rumah untuk terus berbenah. Setelah pendidikan mampu menjadi gerbang yang melahirkan para penggerak kemerdekaan, maka tugas pendidikan selanjutnya harus mampu melahirkan generasi yang mampu mengisi kemerdekaan untuk mewujudkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat, adil dan makmur sebagaimana amanat founding father kita yang tercermin dalam konstitusi.
Pendidikan dari Masa ke Masa
Potret dinamika pendidikan selalu menarik dicermati dari masa ke masa. Untuk kemudian menjadi pisau analisis dalam merefleksi dan memproyeksi kualitas pendidikan yang dicita-citakan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudahkan pendidikan Indonesia mencapai esensinya? Sudahkah merdeka bagi semua?
Kita tak memungkiri, jika dari masa ke masa pemerintah telah melakukan upaya peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, penataan kurikulum berulangkali, dan upaya-upaya perbaikan lainnya. Namun, pendidikan saat ini masih dihadapkan pada berbagai tantangan.
Pertama, akses dan kualitas pendidikan yang merata belum dirasakan sepenuhnya oleh seluruh anak bangsa. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, angka putus sekolah di Indonesia sejak 2019 hingga 2022 mengalami peningkatan. Bahkan kondisi tersebut terjadi di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP ,dan SMA. Angka putus sekolah di jenjang SMA mencapai 1,38%. Angka putus sekolah di jenjang SMP mencapai 1,06%. Angka putus sekolah pada jenjang SD mencapai 0,13%.
Kemudian, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) 2022, hanya terdapat 6,41% warga negara Indonesia yang menempuh pendidikan tinggi. Data tersebut menunjukkan, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi angka putus sekolah. Belum lagi diamati masih terdapat kesenjangan kualitas pendidikan di kota dan di desa, khususnya di daerah 3T, baik dari sarana prasarana, maupun kuantitas dan kualitas tenaga pendidik.
Kedua, penataan sistem pendidikan dan kurikulum berulangkali memerlukan waktu lama untuk diadaptasi dan diimplementasikan dengan baik. Kita harus akui bahwa pendidikan harus adaptif terhadap perubahan zaman yang menuntut berbagai kompetensi lulusan, sehingga terjadinya dinamika penataan sistem pendidikan dan kurikulum.
Namun, penataan sistem pendidikan dan kurikulum harus diiringi dengan menyiapkan seluruh komponen pendukungnya, seperti penyiapan guru yang berkualitas dan sarana penunjang keberhasilan kegiatan belajar mengajar.
Berkaca pada tahap awal pengenalan kurikulum merdeka sebagai kurikulum terbaru saat ini, berdasarkan data dari Kemendikbudristek, ada 60% guru yang masih terbatas dalam menguasai teknologi. Dampaknya, jika pembelajaran tidak berlangsung efektif, peserta didik akan mengalami learning loss. Belum lagi, sistem zonasi dalam PPDB yang digadang untuk memeratakan kualitas pendidikan, namun masih menyisakan permasalahan. Masih terdapat berbagai permasalahan yang muncul dalam menentukan zona siswa, jual beli kursi, hingga pungutan liar. Karena banyak siswa yang masih berebut untuk masuk sekolah negeri dengan biaya yang terjangkau dan sekolah favorit dengan kualitas yang memadai. Hal ini disebabkan belum meratanya kualitas serta kuantitas sarana dan prasarana pendidikan serta tenaga pendidik.
Ketiga, kesejahteraan guru sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa masih menjadi permasalahan. Guru sebagai aktor utama dalam memberikan pendidikan kepada peserta didik memiliki peran penting, sehingga sejatinya harus dihargai dengan sangat layak, salah satunya hak diberikan kesejahteraan. Hak atas kesejahteraan ini termuat di dalam Pasal 14 ayat (1) bagian a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyebutkan bahwa guru berhak untuk memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Realitasnya masih terjadi kesenjangan antara guru PNS dan honorer, bahkan banyak guru honorer yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Berdasarkan data dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), jumlah guru di Indonesia pada 2023 mencapai 3.357.935 guru. Sebesar 52,2% masih berstatus sebagai guru honorer. Sehingga dari angka tersebut dunia pendidikan Indonesia saat ini masih bergantung pada guru honorer dengan tingkat kesejahteraan yang masih belum layak. Bahkan ada guru yang menerima upah di bawah 300.000 per bulan dan sering mengalami keterlambatan dalam pencairan honor.
Keempat, terjadinya degradasi moral akibat pengaruh global yang cepat seiring dengan keterbukaan teknologi informasi dan komunikasi. Di satu sisi keterbukaan teknologi informasi dan komunikasi adalah jembatan baru untuk mengakses berbagai pengetahuan dan meningkatkan keterampilan dengan cepat. Namun, di sisi lain gambaran degradasi moralitas anak bangsa akibat penyerapan budaya tanpa filterisasi menjadi permasalahan yang tidak boleh dianggap remeh oleh siapapun, apalagi dunia pendidikan. Degradasi moral dari mulai lunturnya tata krama peserta didik, kecurangan akademik, bullying, hingga kekerasan seksual yang semakin marak terjadi di lingkungan pendidikan adalah bagian dari pekerjaan rumah perbaikan esensi pendidikan kita saat ini.
Peran Fundamental
Meminjam kalimat John F. Kennedy, “Kemajuan kita sebagai bangsa tidak bisa lebih cepat daripada kemajuan kita dalam pendidikan. Pikiran manusia adalah sumber daya fundamental kita.” Kita dapat memaknai, betapa pendidikan memiliki peran fundamental dalam melahirkan sumber daya manusia unggul yang dapat berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Usia 78 tahun rasanya sudah lebih dari cukup bagi suatu negara yang sangat matang untuk membangun pendidikan yang berkualitas. Terlebih, bangsa Indonesia berpeluang besar meraih bonus demografi dengan jumlah penduduk usia produktif yang sangat berlimpah.
Pendidikan berperan penting mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas secara intelektual maupun moral. Jika pendidikan dari saat ini berhasil dibangun untuk mencetak generasi muda yang unggul, maka bonus demografi yang digadang akan didapatkan Indonesia di 100 tahun Indonesia merdeka bukan mimpi belaka. Sebaliknya, bonus demografi realitasnya akan menjadi bencana demografi apabila bangsa Indonesia tidak mempersiapkan generasi muda produktif yang unggul melalui pendidikan.
Peningkatan kualitas pendidikan menjadi prioritas yang tidak dapat ditawar lagi. Dari permasalahan yang telah disinggung di atas; pertama, akses pendidikan yang berkualitas harus dinikmati oleh semua anak Indonesia tanpa terkecuali. Kedua, perbaikan sistem pendidikan dan penataan kurikulum harus diiringi dengan mempersiapkan tenaga pendidik yang berkualitas, adaptif dan inovatif, serta didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai.
Ketiga, pemenuhan hak atas kesejahteraan bagi guru merupakan keniscayaan yang dapat sebanding dengan kontribusi dan kualitas yang diberikan. Sebagaimana dalam equity theory of motivation, keseimbangan antara kontribusi yang diberikan oleh seorang pekerja dengan penghargaan yang ia dapatkan akan menghasilkan motivasi kerja yang tinggi.
Keempat, menguatkan pendidikan karakter dan moral, di samping upaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik di tengah kemajuan iptek dan transformasi digital yang pesat. Jangan sampai pendidikan kehilangan esensi dan mengalami reduksi makna sehingga terjerumus pada kapitalisasi dan bayang-bayang materialisme. Pendidikan haru mampu mencetak generasi yang bermoral, terampil, dan partisipatif sehingga berkontribusi bagi kemajuan umat dan bangsa.
Oleh: Sanipar Ketua Bidang Pendidikan dan Riset PB HMI
Sumber: news.detik.com