Kisah Riska Yang Disebut ‘Korban Komersialisasi Pendidikan’

Cerita “paling getir” dari dunia pendidikan yang dipaparkan Ganta Semendawai melalui akun twitter @rgantas telah mencuri perhatian warganet di Indonesia.

Ganta mengisahkan temannya bernama Riska yang berjuang melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), sampai akhirnya meninggal dunia pada Maret 2021.

“Kala itu Riska hanya memegang Rp130 ribu untuk ongkos perjalanan naik bus dan uang saku seminggu di Yogya. Tentu ini bukan bagian yang terburuk,” tulis Ganta mengawali cerita temannya yang berkampung halaman di Purbalingga, Jawa Tengah.

Riska kemudian menerima pengumuman biaya kuliah yang disebut Uang Kuliah Tunggal atau UKT mencapai Rp3 juta. Nominal itu dianggap melampaui kapasitas kemampuannya.

Persoalan ini bukan hanya dialami Riska, kata Ganta sambil menyitir jajak pendapat yang menunjukkan hampir semua mahasiswa UNY terbebani oleh besaran UKT.

Angka biaya kuliah tersebut diyakini muncul setelah Riska gagal mengunggah berkas-berkas yang diperlukan untuk membayar kuliah sesuai kondisi ekonominya.

“Saat diminta upload beberapa berkas, ia tidak punya laptop. Sehingga ia meminjam hp tetangganya di desa.

“Karena android tetangganya tidak secanggih hp yang sedang Anda pakai. Akhirnya ia tidak bisa upload berkas-berkas yang diminta,” tambah Ganta.

Riska memperoleh bantuan dari guru-gurunya di sekolahnya, sehingga ia bisa duduk di kelas selama semester pertama.

Lalu, semester berikutnya menjadi lebih berat. Ia sempat mengajukan keringanan UKT, namun hanya diturunkan Rp600.000. Tapi, masih ada semester yang akan datang. Perjuangannya “masih belum usai”.

“Dan pada akhirnya yang ditakutkan pun terjadi. Semester selanjutnya ia lagi-lagi tidak bisa membayar UKT,” tulis Ganta yang kemudian meyakini Riska cuti kuliah untuk bekerja, demi membayar UKT semester.

Singkat cerita, Ganta menerima kabar temannya sedang kritis.

“Selama ini dia mengidap hipertensi yang amat buruk. Ancaman putus kuliah kian memperburuk keadaannya. Setelah beberapa waktu tidak kuliah, tiba-tiba muncul kabar ia sedang kritis di RS. Pembuluh darah di otaknya pecah,” katanya.

Ganta menyebut kisah Riska sebagai “korban komersialisasi pendidikan”.

Utas ini “ditujukan untuk Menteri Pendidikan Nadiem Makarim,” kata Ganta kepada BBC News Indonesia.

Dalam keterangan kepada media, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Profesor Nizam, mengaku terkejut dengan cerita mahasiswa dari UNY.

Padahal, menurutnya, tidak boleh ada mahasiswa yang putus kuliah karena alasan ekonomi. Selama ini, kata Prof. Nizam, selalu ada bantuan dari Kartu Indonesia Pintar dari pemerintah dan bantuan dari kampus melalui beasiswa.

Riska bukan satu-satunya

Kisah Riska ini telah menguak persoalan serupa di perguruan tinggi negeri lainnya.

Seperti yang dialami Nana. Ia harus menghentikan upayanya menempuh pendidikan tinggi saat memasuki semester kedua tahun 2022.

Perempuan 21 tahun ini tak menyangka Uang Kuliah Tunggal (UKT) dipatok Rp4 juta per semester. Padahal ia sudah mengajukan sejumlah berkas yang menunjukkan kondisi keuangan keluarganya hanya bisa membayar Rp2 juta per semester.

“Saya pikir akan dapat keringanan, ternyata nggak dapat. Terus kebetulan karena Covid, ada PPKM segala macam, sedangkan profesi bapak itu pedagang nasi goreng,” kata Nana kepada BBC News Indonesia.

Perempuan yang bercita-cita menjadi seorang editor ini, mengaku sudah mencari informasi agar memperoleh keringanan bayar kuliah, tapi “belum bisa pengajuan kalau belum semester tiga.”

Nana yang sekarang bekerja sebagai karyawan di toko swalayan, mungkin saja masih bisa duduk di kelas kuliah sastranya, jika memperoleh keringanan.

“Pasti, karena biaya yang dikeluarin juga jauh lebih ringan,” katanya.

Di kampus yang sama, Hanifah saat ini sedang mengajukan potongan uang semester sebesar 50% dari biaya UKT sebesar Rp3,9 juta.

“Kedua orang tua saya sudah meninggal. Sekarang saya tinggal sama kakak, yang kerjanya itu hanya pedagang, nggak tetap gajinya. Dan, dia masih punya tanggungan anak yang masih sekolah,“ kata Hanifah yang saat ini sedang mengurus skripsi.

Perempuan 24 tahun ini terancam tak bisa mengenakan toga di semester berikutnya jika permohonannya tidak diterima kampus. “Belum tahu juga, tapi saya hanya bisa berharap dapat keringanan itu,“ katanya.

Di kampus negeri lainnya, Jingga, berjuang meneruskan pendidikan tinggi di semester empat.

“Kondisi finansial keluargaku sejak 2020 buruk banget. Ayahku nggak kerja, cuma serabutan saja, ibu IRT, sedangkan tanggungan mereka ada aku dan kedua adikku yang masih SD,“ katanya.

Di awal semester Jingga sempat mengajukan permohonan keringanan uang semester yang dipatok Rp5 juta. “Berharapnya dapat Rp2 juta. Tapi dihapus hanya Rp1 juta,” kata mahasiswa yang bercita-cita menjadi penerjemah tersumpah ini.

Pada semester ketiga kemarin, Jingga nyaris tidak berlanjut kuliah.

“Kemarin sudah mengajukan cicilan, tapi masih belum sanggup bayar juga sampai kena denda. Sudah mengajukan penghapusan denda pun baru sanggup bayar H-1 tenggat pembayaran, hampir namaku nggak masuk di sistem akademik,“ katanya.

Ia juga mengeluhkan kampus yang kurang peka terhadap kondisi keuangan mahasiswa. Jingga mengatakan banyak teman-temannya yang mengajukan permohonan keringanan uang semester yang tidak sepenuhnya diterima.

“Sama pelayanannya langsung, masih ada staf kurang membantu juga,“ katanya.

Jingga saat ini sedang mempertimbangkan untuk menggunakan fasilitas pinjaman dari BEM fakultasnya. “Walau nggak besar, lumayan, buat bantu finansial,” katanya.

Berdasarkan laporan Kemendikbud-Ristek, angka putus kuliah di perguruan tinggi negeri mencapai 101.758 mahasiswa. Setidaknya ini yang tergambar pada data terakhir 2019 lalu. Mereka yang putus kuliah karena dikeluarkan, putus kuliah, dan mengundurkan diri.

Selain itu, kesempatan duduk kursi perguruan tinggi juga terbatas. Hanya setengah dari lulusan SMA sederajat tiap tahun yang bisa menyandang status mahasiswa.

UKT tidak sampai tujuan

Sejak 2013, pemerintah mengenalkan sistem biaya kuliah tunggal di perguruan tinggi negeri. Biaya kuliah tunggal merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi. Artinya, biaya kuliah ini sudah meliputi uang gedung, SPP, uang almamater, praktikum, dan penunjang lainnya yang dilebur menjadi satu kemudian dibagi rata menjadi delapan semester.

Penyebutannya di setiap kampus berbeda-beda. Tapi intinya, sistem ini digunakan agar mahasiswa bisa membayar uang kuliah seusai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Istilah subsidi silang lahir dari sistem ini.

Ketentuan pembayaran akan dibagi-bagi dalam bentuk golongan. Golongan satu uang kuliahnya Rp0 – Rp500.000 per semester (setidaknya 5% dari mahasiswa yang diterima). Golongan ini  adalah mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin dengan pengeluaran di bawah Rp500.000 per bulan.

Kemudian golongan kedua, Rp500.000 – Rp1.000.0000 per semester. Diikuti kelompok selanjutnya hingga golongan tertinggi yang bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan dengan kasus-kasus mahasiswa putus kuliah, membuktikan sistem ini tidak berjalan optimal.

“Padahal UKT itu agar memudahkan mahasiswa akses ke perguruan tinggi. Tapi dengan sistem UKT, justru menghalangi mahasiswa yang ingin kuliah sampai drop out, dan seterusnya,” katanya.

Ubaid melihat adanya ketidakterbukaan dari kampus-kampus terhadap penentuan nilai UKT mahasiswa. “Masalah itu berujung pada UKT yang tidak tepat. Itu akan menjadi bencana bagi dia, sampai dia lulus kuliah,” katanya.

Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menilai pengajuan keringanan mahasiswa semestinya bisa diselesaikan di tingkat fakultas.

“Karena pimpinan fakultas merasa ini bukan tanggung jawabnya, ini dianggap urusan universitas. Akhirnya, yang korban mahasiswa yang bersangkutan,” katanya.

Rakhmat menyebut kejadian di UNY sebagai “sesuatu yang ironis, dan memalukan di dalam dunia pendidikan.”

Andil PTN-BH

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, juga mengkritik kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) yang menurutnya ikut menyumbang tingginya iuran semester mahasiswa. PTN-BH adalah perguruan tinggi yang memiliki otonom dalam pengelolaan kampusnya sendiri.

Dengan sifatnya yang otonom kampus berstatus PTN-BH bisa mengembangkan fakultas dan program studi.

Selain itu, kampus juga mandiri dalam mengelola pemasukan keuangan misalnya dengan membuat usaha mal, hotel, sampai penyewaan aset tanah dan bangunan. Tapi tidak semua kampus memiliki kemampuan tersebut sehingga harus mencari pemasukan dari mahasiswanya, kata Rakhmat.

“Ada kampus yang terbatas pemasukannya itu pilihan yang paling memungkinkan, yaitu adalah menaikkan UKT kepada mahasiswa, karena itu yang paling riil, karena itu yang paling mudah,” kata Rakhmat.

Saat ini sudah terdapat 21 kampus negeri di seluruh Indonesia yang sudah berstatus PTN-BH.

Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Profesor Nizam, yang dihubungi BBC News Indonesia, belum memberikan respons untuk mengonfirmasi hal ini. Tapi sebelumnya, ia mengaku terkejut dengan cerita mahasiswa dari UNY.

Padahal, menurutnya, tidak boleh ada mahasiswa yang putus kuliah karena alasan ekonomi. Selama ini, kata Prof. Nizam, selalu ada bantuan dari Kartu Indonesia Pintar dari pemerintah dan bantuan dari kampus melalui beasiswa.

“Saya harap tidak akan pernah terjadi lagi seperti yang terjadi menimpa mahasiswi UNY,” katanya seperti dikutip dari Kompas.com.

Sementara itu, pihak UNY kepada sejumlah media menyatakan Riska meninggal saat cuti kuliah, dan mengatakan mahasiswa bisa mengajukan keringanan bayaran ketika menghadapi kesulitan ekonomi.

sumber: bbc.com

Leave a comment

Translate »
Butuh Informasi?