Lebih dari 2,4 juta siswa pemilik Kartu Indonesia Pintar (KIP) terancam kehilangan kesempatan dalam mengakses Program Indonesia Pintar (PIP) yang telah dicanangkan pemerintah. Secara detail, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut angkanya mencapai 2.455.174 siswa. Jumlah tersebut didapatkan dari hasil pemeriksaan BPK atas PIP periode 2018 hingga semester I tahun 2020.
Seperti diketahui, siswa pemilik KIP berasal dari keluarga kurang mampu peserta Program Keluarga Harapan (PKH) dan pemilik Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Kalangan yang selama ini dinilai mempunyai keterbatasan dalam mengakses pendidikan.
Sengkarut atas pelaksanaan program yang sudah ada sejak tahun 2014 ini tampaknya belum bisa diatasi oleh pemerintah hingga saat ini. Masalah keterlambatan memasukkan data penerima, salah sasaran, atau hambatan pencairan dana, masih terus terjadi dalam pelaksanaan PIP.
Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan dasar hingga menengah, harus bisa memastikan semua anak mendapat hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya (UU HAM Pasal 60 ayat 1).
Sekilas PIP dan KIP
PIP adalah program pemerintah untuk menjamin hak pendidikan anak dari kelompok rentan. PIP dirancang untuk membantu anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin dan rentan miskin, untuk tetap mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat pendidikan menengah.
Pendidikan yang dijamin pemerintah tersebut bisa melalui jalur pendidikan formal (mulai SD/MI hingga anak lulus SMA/SMK/MA) maupun pendidikan non-formal (Paket A hingga Paket C serta kursus terstandar). Selain untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, PIP juga diberikan pada jenjang pendidikan tinggi.
Melalui program ini pemerintah berupaya mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah dan diharapkan dapat menarik siswa putus sekolah agar kembali melanjutkan pendidikannya. PIP merupakan kerja sama tiga kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Kementerian Agama (Kemenag).
Setiap anak didik sasaran PIP diberikan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Kartu tersebut diberikan sebagai penanda atau identitas penerima bantuan pendidikan.
Sengkarut PIP
Kemendikbud mengklaim bahwa PIP telah menekan jumlah anak putus sekolah secara signifikan. Tapi, klaim kesuksesan ini bukan berarti PIP tidak ada persoalan. Di lapangan, masih banyak ditemukan permasalahan.
Hasil audit BPK atas PIP pada tahun 2018 hingga Semester I 2020 menyimpulkan bahwa pengelolaan PIP pada periode tersebut telah sesuai tapi dengan pengecualian. Sebab, temuan pemeriksaan menunjukkan bahwa perencanaan PIP belum dilaksanakan secara memadai. Selain itu, pelaksanaan penyaluran dan pencairan PIP juga tidak memadai. BPK juga menemukan bahwa penyaluran Bidikmisi belum dilakukan secara optimal.
Akibatnya, sebanyak 2.455.174 peserta didik pemilik KIP yang berasal dari keluarga peserta PKH/KKS menjadi kehilangan kesempatan karena tidak diusulkan dalam SK penerimaan bantuan PIP. Selain itu, penyaluran dana PIP kepada 5.364.986 siswa atau sebesar Rp2,86 triliun tidak tepat sasaran. Ini terjadi karena bantuan dana tersebut diberikan kepada siswa yang tidak layak menerima.
Tak hanya itu, proses penyaluran dan pencairan dana PIP pun terhambat. Terdapat dana PIP tahun 2019 dan 2020 yang mengendap selama lebih dari 105 hari di bank penyalur. Dana tersebut mencapai Rp1,98 triliun. Dana mengendap ini berpotensi memberikan penerimaan jasa giro sebesar Rp167,90 miliar tetapi tidak dapat ditagih.
Sengkarut juga terjadi pada program Bidikmisi. Penyaluran yang tak tepat menyebabkan dana Bidikmisi tidak dapat dimanfaatkan oleh penerima. Juga terjadi kelebihan pembayaran atas penyaluran Bidikmisi kepada mahasiswa yang tidak terdaftar dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti).
BPK sudah memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan tersebut. Kemendikbud dan instansi terkait diminta segera menyelesaikan sengkarut pada PIP. Sejatinya program PIP ini adalah wujud kehadiran negara untuk memenuhi pendidikan bagi anak Indonesia.
Permasalahan di lapangan yang langsung dialami oleh pelaksana dan penerima program, serta hasil audit BPK harus menjadi perhatian oleh Kemendikbud dan instansi terkait. Audit sudah dilakukan BPK. Masyarakat pun dapat turut mengawasi pelaksanaan PIP dan melaporkan ke instansi berwenang jika mendapati penyimpangan.
Sengkarut pada PIP yang terus berlarut, jangan sampai menghilangkan hak anak untuk mendapat pendidikan. Negara harus memastikan hak pendidikan anak Indonesia terpenuhi.
Oleh: Fitri Yuliantri P, Pranata Humas Muda BPK sumber: wartapemeriksa.bpk.go.id